Teman kerap bertanya: Gimana ini, ‘kan sudah jadi tuan guru, koq nyalon jadi gubernur, bupati dan wakil bupati? Koq jadi pingin ngurus “dunia†lagi? Apa ndak salah mau terjun ke dunia politik? Dunia politik itu ‘kan kotor. Kalo Tuan Guru masuk politik, berarti ibaratnya nyemplung ke comberan. Mestinya tetap saja jadi tuan guru, ngajar kita ngaji. Apa bisa ngurusi negara hanya bermodal ilmu fikih, nahwu, sharaf dan kitab kuning.
“Kalo sudah jadi ulama, ya, jadi ulama sajalah. Jangan kepingin jadi umara. Ulama dan umara sudah diciptakan berbeda. Ulama ngurus akhirat, umara ngurus dunia,†ujar seorang teman lain kepada saya, dan….. banyak lagi pertanyaan dan ungkapan lainnya yang bernada menyayangkan.
Jadi, kalau disimak ucapan-ucapan tersebut, ternyata dalam persepsi masyarakat kita, seorang tuan guru atau ulama harus mentok ngurus masalah akhirat saja. Misalnya, buka pengajian, sembahyang, wirid putar tasbih dan hadiri undangan kematian dan rowah. Sedangkan urusan politik, itu adalah urusannya “Bapak-Bapak†lulusan dari sekolah umum. Karena itu, konon, bila ada tuan guru coba-coba terjun ke dunia politik bisa-bisa dianggap keluar dari “rel†ketuan-guruannya. Bisa-bisa tangannya tak lagi dicium para jamaah.
Sayapun akhirnya jadi kepingin nimbrung juga membahas topik seputar ulama jadi umara atau tuan guru jadi datu ini. Menurut saya, fungsi ulama yang hanya mengaji dan tidak boleh menjadi pemimpin formal adalah peninggalan kolonialisme. Faham ini sengaja ditanamkan oleh penjajah karena para penjajah ketakutan apabila para ulama bergerak di bidang politik. Para penjajah cukup banyak mendapat pengalaman pahit dari etos perjuangan dan perlawanan yang dipimpin ulama. Kalau ini dibiarkan, maka sudah pasti kuku penjajahan bakal segera lepas. Tentunya hal ini sangat tidak diinginkan oleh para penjajah.
Thomas Raffles, tokoh dan pentolan penjajah, dalam bukunya The History of Java mengakui secara terang-terangan bahayanya peran ulama dan santri terhadap kepentingan kolonial Belanda. Menurutnya ulama beserta santrinya sangat aktif dalam berbagai perlawanan terhadap kolonial Belanda.
Oleh karena itulah para penjajah kemudian mendikotomikan fungsi ulama dengan umara. Urusan negara diberikan kepada para pejabat yang telah mereka didik, sedangkan ulama cukup ngajar ngaji di pesantren dan masjid. Para ustad cukup ngajar alif-bata di surau-surau. Dengan cara ini diharapkan peran ulama di bidang politik bisa dieliminir sehingga tidak akan menjadi ancaman bagi penjajah.
Kondisi seperti ini terus berlangsung hingga sekarang. Dikotomi peninggalan penjajah itupun masih tertanam kuat dibenak sebagian orang. Dan tidak saja di kalangan masyarakat awam, tapi juga kaum intelektual. Padahal Islam sendiri melarang adanya pengkotak-kotakan bidang kehidupan. Islam memuat aturan kehidupan secara menyeluruh termasuk politik.
Dalam Islam sendiri politik dikenal dengan istilah As Siyasah. Jika terjun ke dunia politik merupakan jalan untuk memperbaiki umat maka terjun ke dunia politik tersebut merupakan suatu keharusan. Nabi Muhammad SAW, selain mengemban risalah Alloh, menyampaikan firman-firman Alloh kepada umat manusia, Beliau juga bertugas menjadi pemimpin negara Islam Madinah. Adakah ketakwaan beliau jadi berkurang karena menghandle tugas kenegaraan? Padahal tugas-tugas kenegaraan itu sendiri erat kaitannya dengan hal-hal yang berbau politik.
Dalam Al-qur’an juga terdapat kisah tentang nabi-nabi yang -selain mengemban risalah Alloh- juga merangkap sebagai datu. Contohnya, Nabi Daud dan Nabi Sulaiman. Beliau adalah raja-raja yang cukup terkenal dan tangguh. Begitu pula Nabi Yusuf, selain sebagai nabi, juga dikenal sebagai seorang bendaharawan negara atau kalau istilah sekarangnya, semacam menteri keuangan.
Adakah ketakwaan para nabi itu memudar karena merangkap jabatan sebagai datu? Pernahkan nabi-nabi tersebut dicap oleh Alqur’an sebagai nabi yang “urus dunia melulu†karena mau jadi raja? Tentu saja tidak. Sebab justru dengan posisinya sebagai penguasa itulah maka para nabi semakin memperoleh power untuk menegakkan yang hak dan memberantas kebathilan.
Jadi kalau politik dan kekuasaan djadikan kendaraan untuk beramar ma’ruf nahi munkar, mak berpolitik dan berkuasa itu dapat bernilai ibadah. Politik dan kekuasaan itu tidak kotor. Yang kotor adalah orang-orang yang memanfaatkan politik dan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan dengan cara-cara yang tidak dibenarkan agama.
Politik dan kekuasaan itu ibarat gelas kosong. Jikalau diisi dengan racun, maka jadilah gelas itu berisi racun. Tapi bila diisi dengan susu, maka gelas itupun menjadi gelas susu yang bisa diminum. Begitu juga dengan politik, jika yang mengisinya adalah orang-orang kotor dan berniat kotor, maka jadilah politik itu kotor. Tapi bila diisi oleh orang-orang baik dan berniat baik, maka baik pulalah politik itu. Jadi siapapun boleh terjun ke politik. Siapapun boleh jadi penguasa selama tujuannya untuk kebaikan. Demikian juga dengan ulama yang menjadi umara.
Seorang ulama, mungkin hanya punya “lisanâ€. Ia hanya bisa sebatas mengingatkan umat tentang yang hak dan bathil. Sedangkan umara punya “tangan†untuk menegakkan yang hak dan menghancurkan yang bathil. Tapi sayangnya umara jaman sekarang kadang tidak bisa “menggerakkan tangannya†itu. Selain kurang punya ilmu tentang hak dan bathil, juga mereka kerap terjerumus kepada kebathilan. Oleh karena itu nilai lebihnya bila ulama yang jadi umara, yaitu selain ia punya “lisan†untuk mengingatkan tentang yang hak dan bathil, ia juga sekaligus akan punya “tangan†untuk menegakkan kebenaran dan memberangus kebathilan tersebut.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, memang banyak orang yang sangsi. Bila ulama nanti jadi umara, apa bisa benar-benar konsisten beramar ma’ruf nahi mungkar? Apa tidak malah nantinya justru akan ikutan bermungkar ria? Malah ada yang bilang, jangan-jangan nanti sang ulama bakal ikutan korupsi bila telah jadi umara.
Kalau menyangkut kemungkinan akan berbuat salah, tentu potensi itu ada pada semua orang, baik penguasa yang berasal dari kalangan ulama maupun umara asli. Tapi setidaknya umara yang berasal dari ulama insya Alloh lebih bisa mengendalikan diri. Sebab bekal ilmu agama yang dimilikinya akan menjadi rem agar tidak melakukan hal-hal tercela. Berbeda dengan penguasa yang tidak dibekali ilmu agama, bisa diibaratkan seperti mobil tanpa rem. Semua yang ada ditabrak saja tanpa kendali bahkan hingga nyungsep ke telabah. Contohnya seperti di negara kita ini, pemimpinnya sebagian besar dari kalangan sekuler yang tidak mengerti dan peduli halal-haram. Akibatnya, ya, silahkan anda lihat sendiri bagaimana keadaan negara ini sekarang.
Lalu bagaimana dengan kemampuan sang ulama kalau memimpin negara? Apa cukup mengelola negara dengan ilmu agama doang? Untuk urusan disiplin ilmu, barangkali perlu kita mencermati lebih dekat perbedaan ulama tempo doeloe dengan ulama sekarang. Ulama tempo doeloe dididik di madrasah atau pesantren yang tidak dilengkapi ilmu pengetahuan umum. Kurikulum saat itu masih berkutat pada kajian kitab-kitab kuning, fiqih, tafsir dan hal-hal yang terkait ibadah ritual lainnya. Sedangkan kurikulum� madrasah atau pesantren jaman sekarang selain berisi tentang ilmu agama, juga dilengkapi ilmu umum.
Coba saja Anda sesekali tengok madrasah atau pesantren, selain diajarkan ilmu fiqih, akidah akhlak, quran hadis, nahwu dan sebagainya, juga diajarkan matematika, fisika, kimia, tata negara, bahasa Inggris, sejarah, ekonomi, akutansi, sosiologi-antropologi, geografi dan semacamnya. Malah kalau mau jujur, ilmu di pesantren lebih banyak daripada di sekolah umum. Pelajaran yang ada di sekolah umum, sudah pasti ada di pesantren. Tapi pelajaran yang ada di pesantren, belum tentu bisa didapat di sekolah umum.
Jikalau merujuk pada kurikulum tersebut, maka bisa dikatakan lulusan pesantren lebih siap daripada sekolah umum untuk ditempatkan di mana saja. Jadi ulama siap, umarapun siap. Jadi tuan guru oke, datupun oke. Jadi lurah bisa, jadi khatibpun bisa. Mimpin zikir lancar, mimpin sidang paripurnapun mantap. Oleh karena itu sudah bukan jamannya lagi menyangsikan kemampuan ulama untuk menjadi umara. Malah bukan tidak mungkin negeri kita -insya Alloh- akan jadi lebih baik setelah dipimpin ulama.
Terakhir, cobalah kita menengok ke Iran. Negara tersebut justru menjadi maju dan mulai diperhitungkan dunia setelah dipimpin oleh para Mullah (ulama). Bahkan kini Amerikapun tak berani seenaknya kepada Iran. Lalu bagaimana dengan negara kita? Kata seorang teman, konon, negara kita jadi begini kacau, miskin dan korup karena pemegang kekuasaannya kebanyakan bukan dari kalangan Mullah, melainkan dari kalangan Ulah (ular).� Nah, sekarang terserah kita. MAU DIPIMPIN MULLAH ATAU ………...ULAH LAPAH. Wallahua’lam
0 comments:
Post a Comment