Rakyat Indonesia sudah pasti tidak akan pernah lupa dengan slogan tentang komitmen pemimpin nasional maupun lokal pada saat pemilihan dulu. Komitmen untuk menciptakan tatanan sosial yang adil, sejahtera, bermartabat dan lain-lainnya telah berkumandang ke seluruh pelosok daerah dan tertanam di hati rakyat Indonesia. Didaerah misalnya hampir semua pejabat mengaku dengan gagah memperjuangkan visi dan misi masa depan bangsa seperti ini. Sayang, dalam praktek gambaran akan hal tersebut diatas tidak pernah terlihat.
Berbagai upaya yang disusun dan dituangkan dalam kebijakan umum anggaran, strategi dan prioritas kebijakan serta APBD lebih banyak menjadi dokumen formal ketimbang rencana aksi yang kongkrit untuk kepentingan rakyat. Ada sesuatu yang aneh, ketika pemerintah daerah mengklaim telah membenahi sistem perencanaan dan penganggaran sepanjang waktu, kepercayaan publik justru semakin menurun.
Rakyat merasa janji politik dengan berbagai reformasi yang ditawarkan tidak memiliki korelasi bagi peningkatan kualitas hidup mereka. Roda pembangunan terus menggelinding maju, namun rakyat justru merasakan sedang berjalan di tempat atau bahkan merasakan kemunduran.
Indikator-indikator ekonomi dan kesejahteraan sosial masyarakat menunjukkan gambaran nyata tentang itu. Jumlah penganggur meningkat tajam, kesenjangan sosial semakin lebar, harga-harga semakin sulit dijangkau, kualitas pelayanan kesehatan semakin menurun meski ongkos untuk itu semakin mahal, pendidikan semakin eksklusif dan mahal, lingkungan semakin tidak ramah, dan bocah-bocah busung lapar dianggap sesuatu yang biasa saja. Tahun 2004 misalnya, Data Depdiknas menyebutkan dari 29,8 juta siswa SD/MI hanya sekitar 82 persen saja yang dapat menyelesaikan sekolahnya dan dari 50 juta orang siswa SD sampai dengan SMA hanya sekitar 20-25 persen saja yang mampu menyelesaikan sekolahnya atau hanya sekitar 10-12,5 juta siswa pada setiap tingkatannya. Ketiadaan biaya adalah faktor penyebab yang paling dominan, sementara itu angka buta huruf di Indonesia 15,5 juta. Tahun 2004 juga, indeks pembangunan manusia (HDI) Indonesia diurutan 111. Setingkat di atas Vietnam, tetapi masih di bawah Filipina, Malaysia, dan Thailand (Sumber Kompas, 10/10/2005).
Selain itu juga, hasil proyeksi Balitbang Depdiknas memperkirakan bahwa murid yang putus sekolah tahun ajaran 2004-2005 di level SD, SMP/MTs, SMA/MA mencapai 1.122.742 anak. Angka terbesar putus sekolah justru berada pada tingkat SD, yakni mencapai 685.967. Satu sisi, biaya pendidikan setiap tahun selalu naik. Untuk masuk SD saja, rakyat harus membayar hingga ratusan ribu rupiah (Seperti yang terjadi di 2 sekolah Negeri di Lombok Timur/NTB sampai Rp. 2.415.000/untuk putra dan Rp. 2.516.000./untuk putri, hanya untuk membayar uang masuk bagi yang tidak lulus ujian masuk lewat seleksi nilai SKHU). Kenyataan ini diperparah lagi dengan tingginya angka rakyat miskin yang tidak bersekolah atau putus sekolah. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menyatakan bahwa sekitar 19 persen dari anak-anak berusia sekolah (di bawah 15 tahun) tidak bersekolah dengan perbandingan pendapatan rakyat Indonesia 2 dollar/hari.
Hal ini tentu mengherankan rakyat ditengah meningkatnya jumlah pajak dan retribusi yang harus disetor kepada penguasa. Rasa keadilan masyarakat semakin tertusuk oleh kenyataan yang bertolak belakang secara diametral dengan kehidupan mereka, yakni kemewahan yang menjadi privilege bagi elit politik dan kelompoknya. Kemewahan dan prilaku extravaganza juga dipertunjukkan oleh para politisi, gedung wakil rakyat tidak lagi menjadi simbol penderitaan dan perjuangan rakyat, namun sebaliknya menjadi marketing agent kapitalis pemburu rente lengkap dengan berbagai symbolnya. Mobil mengkilap, jas bermerk, rumah baru nan mewah , fasilitas hidup nan lengkap dan sebagainya hadir tanpa diketahui sumbernya, sangat tidak sebanding dengan pendapatan resmi yang diperolehnya. Pertumbuhan kekayaan oleh segelintir elit sudah sampai pada tingkat yang tidak dapat ditolelir oleh himpitan kemiskinan rakyat. Fenomena-fenomena ini terakumulasi menjadi frustasi sosial dan menghancurkan sosial-kapital yang sudah ada. Penghancuran ini muncul dalam bentuk meningkatnya kriminalitas, krisis moral dan penyimpangan-penyimpangan lainnya yang mengancam kenyamanan sosial. Ketidakpercayaan yang luar biasa tidak hanya ditujukan kepada pemerintah, tetapi juga kepada sesama masyarakat. Jika kerusakan sosial semacam ini terus tumbuh secara linear, bom waktu bernama kesenjangan dan pembodohan yang maha dahsyat akan menjadi ancaman kehidupan kita bersama.
Lalu, dimana sebetulnya pangkal soalnya ? Mengapa perubahan sosial yang terjadi justru berbeda arah dengan konstruksi sosial yang ingin diwujudkan oleh perencana pembangunan ? Apakah kesalahan terjadi pada konsep dan strategi program yang direncanakan? Ataukah justru para pelaksana pembangunan yang mendistorsinya? Apakah yang sesungguhnya telah dilakukan oleh pemerintah? Sebagian pertanyaan tersebut terjawab manakala kita menelisik lebih teliti, bagaimana cara pemerintah dengan kekuasaannya mengumpulkan sumber daya publik? Untuk siapa dan dengan cara bagaimana pemerintah menggunakan sumber daya tersebut?. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diatas akan kita ketemukan dalam proses dan produk penganggaran, karena anggaran khususnya anggaran daerah adalah dokumen perencanaan pembangunan paling kongkrit yang menunjukkan prioritas dan arah kebijakan pemerintahan dalam satu periode (tahunan). Dinyatakan paling konkrit karena anggaran berperan sebagai kebijakan operasional yang merupakan turunan dari strategi pemerintah sesuai visi, misi dan program pembangunan yang ditetapkan. Mungkin kita mulai dari persoalan Otonomi Daerah, sejak otonomi daerah diterapkan mulai tahun 2001 silam belum ada perubahan kebijakan Fiskal yang cukup mencolok. Kebijakan desentralisasi fiskal sebagai turunan dari UU otonomi daerah No. 22 tahun 1999 masih mencerminkan dominasi pemerintah pusat dalam pengelolaan keuangan masih sangat besar. Lihat saja, seluruh daerah propinsi dan kabupaten di Indonesia hanya memiliki kewenangan perpajakan (taxing power) tidak lebih dari 5% dari seluruh kewenangan pajak di Indonesia. Jauh dibawah rata-rata negara berkembang yang jumlahnya sebesar 10% dan negara maju yang rata-rata mencapai 20 %. Dalam hal alokasi anggaran, misalnya DAU yang dikucurkan ke daerah, masih menggunakan batas minimal yang 25% dari APBN. Konsep DAU semacam ini tidak efektif untuk menjembatani kesenjangan antar daerah (horizontal imbalance) karena memuat internal paradoks di dalamnya. Dengan karakteristik kewilayahan dan kemampuan yang sangat beragam dari masing-masing daerah, DAU hanya akan efektif jika kekuasaan keuangan pemerintah pusat sangat besar dan kemudian pemerintah pusat mendistribusikan ke daerah-daerah.
Meskipun konsentrasi keuangan dan kewenangan pengalokasiannya masih didominasi pemerintah pusat, desentralisasi fiscal melalui pemberian/alokasi anggaran melalui mekanisme perimbangan/bagi hasil pajak, DAU dan DAK, setidaknya telah memberikan kekuasaan yang lebih luas kepada daerah. Dengan demikian ada peluang untuk mendorong partisipasi masyarakat yang lebih luas untuk mempengaruhi kebijakan publik. Akan tetapi menguatnya kekuasaan di pemerintahan daerah dengan kebijakan otonomi daerah khususnya desentralisasi fiskal ini tentunya membawa konsekuensi desentralisasi korupsi di daerah yang akan semakin menggejala. Karena hampir tidak ada control yang cukup kuat terhadap perilaku pengelolaan desentralisasi fiscal ini. Bolehlah ada Badan Pengawasan Daerah (BAWASDA). Akan tetapi selama Bawasda masih berada bawah ketiak kepala daerah maka ia tidak bisa optimal melakukan pengawasan. Karena itu diperlukan pengawasan dari luar. Teori manajemen paling sederhana mensyaratkan pentingnya eksternal auditing. Perangkat hukum yang disusun di banyak daerah pun mengabaikan pentingnya jaminan terhadap pengawasan publik.
Akhirnya dengan sebagian kecil potret penganggaran diatas setidaknya kita bisa selalu berharap dan terus mendesak pemerintah dan DPRD untuk benar-benar melakukan amanat UUD dan rakyat. Mungkin, reformasi anggaran saat ini sangat mendesak untuk dilakukan karena hubungannya dengan birokrasi yang rentan korupsi, terlalu gemuk dan tidak efektif dan efisien dalam operasionalnya. Juga sangat terkait dengan struktur organisasi pemerintah yang demikian besar tetapi hasil kerjanya tak sebanding dengan anggaran yang dikeluarkan. Semoga kita masih bisa berharap pada wakil rakyat yang ditangannya telah dititipkan amanah untuk membahasnya.
23 comments:
Secara organisatoris, desentralisasi memang jauh lebih baik karena dapat lebih konsen untuk tujuan masing-masing. Akan tetapi, masalah klasik di Indonesia terletak pada agency cost, dimana tingkat bisa dipercayanya orang Indonesia sangat rendah. Dan sayangnya, wakil rakyat juga termasuk dalam rentetan sistem tersebut.
Usul: Mas enhal, keren artikelnya. Saya ngusul, sebaiknya istilah-istilah sulit yang anda gunakan diberikan link, supaya pembaca awam tahu. Dan juga singkatan-singkatan seperti DAU, kalau bisa dikasih keterangannya.
^_^
Oke dalam waktu dekat ntar ta rubah..thanks atas sarannya..
kalau menurutku sih.. semua kembali ke yang namanya integritas.. kalo para pemimpin di negeri ini punya integritas.. kita pasti jauh lebih maju.. karena integritas itu ga berubah walau ga ada yang mengawasi..
waw, yah...mungkin saja bisa begitu
wow artikel yang bagus dan rinci.. keren neh.. yup merdeka !!
karena kita msih cinta negri ini..
:Kado itu hadiah gombal...kado itu kini kau harus makan mau tidak mau..tidak mau berarti kita harus berjuang bukan? berjuang berarti harus melawan buka? Melawan berarti kita harus siap di Cemoohkan oleh 1 di dukung oleh 1000...alloh akbar Merdeka
yahh..negeri ini ga akan berubah klo pemimpinnnya masih seperti skrang. Indonesia bs berubah klo dipimpin oleh orang seperti bung enhal
he he
Buat Afif..Postingan ini sebuah lamunan anak desa yang ingin perubahan..kalo jadi pemimpin mah ga bakalan bisa..ga da duit bro
Saya yakin Indonesia akan berubah setelah PEMILU 2009 nanti :D
infonya keren.....
semoga APa yang memang menjadi harapan bangsa indonesia di usianya yang udah ke-63 ini bisa tercapai.amin dan itu juga harus menjadi tanggung jawab kita bersama.
semoga pemerintah bisa menyadarinya
SALAM KEMERDEKAAN
penjabaran yg keren broth, semoga Indonesia di usia yg ke 63 ini menjadi lebih baik
artikel anda :
http://politik.infogue.com/
http://politik.infogue.com/kado_17_agusutus_politik_anggaran_vs_kekuasaan_
promosikan artikel anda di www.infogue.com dan jadikan artikel anda yang terbaik dan terpopuler menurut pembaca.salam blogger!!!
kang enhal sulit untuk merubahnya kalau peminpin-peminpin kita tetap seperti ini, ini adalah contoh apakah nantinya kita sebagai penerus "bukan aku lho" bisa tetap konsisten seperti apa yang sekarang kita teriakkan, atau malah lupa seandainya udah jadi pimpinan. udah banyak contohnya tho, yang notabenenya dulu sorang aktifis, kalau sudah memgang kekuasaan lupa sama teriakannya sendiri.kalau kita bisa konsisten insya allah kedepannya indonesia akan berubah.
kami rasa selama kita bisa bernafas, berjalan, bernyanyi, berharap, mendengar, melihat, merasakan, menari, memberi dan menerima, itu adalah merdeka...
Ayolah kawan, ini milenium ketiga...
dimana kita selayaknya lebih memikirkan nasib planet bumi ketimbang kebusukan politik dalam negeri
Bumi membutuhkamu...
ayo berjuang bersama...
Semoga cita-cita mulia itu akan selalu ada. Karena sayang sekali, setiap cita-cita hanya berujung pada kekecewaan. Kado yang diberikan bro enhal ini semoga bisa terus menjadi pemecut bagi siapapun yang berkepentingan. Saya pribadi tidak lupa. Tapi entah, ibu-ibu yang setiap harinya cuma bisa nelangsa karena minyak tanah sudah tidak ada, digantikan gas, yang walau lebih murah tapi takut untuk mencobanya. Bisa jadi mereka cuma bisa berkata "ya sudahlah, mau diapakan lagi".
Semoga bro.. semoga..
stahuku watak khas sebagian petinggi kita adalah :halal ga Halal yang penting uang kumpul.....
hhmm...bagi saya, kesalahan tidak hanya terletak pada pemerintah, Namun, kita juga turut andil di dalamnya.
Kita bisa mengubah negara menjadi baik. Kita bisa mengubah pendidikan lebih berkualits. Tak harus duduk manis dan menunggu dari pemerintah.
Kita bisa mengubah segalanya. Awali dari kita.
kak enhal yang sangat "PKN" banget...hehehehe,
ini nih usul kak fajar indra bagus. anak yang nggak PKN banget kayak aku suka bingung sama istilah sulit. mungkin sikasih keterangan lebih sip dan asuhai ya^^
indonesia.....ya begitu adanya...
Wah.. kalo saya tidak banyak terlalu berharap kepada wakil rakyat kita. Tahu sendiri kan?
Btw, postingannya lengkap banget bro.. salut!
negeri ni tak akan pernah menjadi negara yang makmur..pa bila kita selalu hidup di negeri yang penuh kemunafikan ini
kalau ingin melihat betapa perhatiannya para (calon) pemimpin dinegara ini kepada rakyatnya adalah sekarang waktu yang tepat, menjelang pemilu tentunya. memang jika hanya bergantung pada perseorangan tidak mungkin terjadi perubahan kearah yang lebih baik, namun alangkah baiknya jika semua rakyat Indonesia memiliki niat yang baik dan tulus untuk membangun negeri demi tercapainya masyarakat yang sakinah, mawaddah, warohmah.
satu hal yang saya tahu dari rakyat Indonesia adalah pada saat tidak memiliki wewenang selalu mengeluh dan menghujat, namun jika memegang kekuasaan langsung saja menyalahgunakan kekuasaan tersebut, jadi tunggu giliran saja.
ga' percaya? coba lihat pengelolaan rt di lingkungan kita sendiri. semua kebijakan cenderung berdasarkan suka atau tidak suka bukan berdasar, peraturan yang berlaku.
Wah klo saya mah kagak terlalu ngerti masalah pemerintahan.....
Tpi spengetahuan saya, smoga yang duduk empuk di kursi besi itu sgera melek dari kebutaan kekuasaan sama kefinanSIALAN
ya ya ya ya ya ya ya ya
saya hanya bisa bermimpi kalau saya yang menjadi presiden indonesia saya kan makmurkan seluruh propinsi hehehehehehehe
Post a Comment