2008-07-11

Tuan Guru dan Pembangunan

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menjadi wacana global yang sering disoroti dalam berbagai pembicaraan, kajian, dan penelitian. Sejak krisis menimpa Indonesia pada pertengahan tahun 1997 di berbagai bidang kehidupan, sebagian rakyat Indonesia menjadi demikian pesimis. Apalagi mereka yang terkena akibat krisis secara langsung, seperti Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), atau usahanya gulung tikar, akan tetapi ada juga dari mereka yang tetap yakin, optimis, dan beranggapan Indonesia masih tetap kaya, baik kekayaan sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia (SDM), budaya, maupun kekayaan lainnya. Akan tetapi, kekayaan Indonesia tersebut tidak dikelola dengan baik, sehingga tidak memberikan hasil dan secara merata untuk dirasakan oleh rakyat Indonesia, kemudian timbul sikap apatis dari rakyat, berupa berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, sehingga melalui agenda reformasi diharapkan bangsa Indonesia akan mampu keluar dari krisis yang multidimensi tersebut. Namun, upaya yang dilakukan tidak semudah membalikkan telapak tangan, ironisnya keadaan bangsa Indonesia semakin “parah” ditandai dengan tindakan-tindakan anarkhis dan brutal yang jauh menyimpang dari identitas bangsa, ajaran agama, dan nilai-nilai, serta norma-norma kehidupan yang selama ini menjadi pedoman hidup berbangsa dan bernegara.
Terlalu sulit untuk mengidentifikasikan penyebab dari semua peristiwa yang menimpa bangsa Indonesia, akan tetapi jika dilihat dalam konteks sosiologis, sebab dari semua peristiwa tersebut ialah ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan yang dirasakan oleh masyarakat. Bentuk ketidaksesuaian tersebut tidak sejalan dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang telah ditetapkan dalam Garis-Garis Haluan Negara (GBHN) mengenai kewajiban dan tanggung jawab pemerintah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia menuju kesejahteraan lahir dan bathin.
Diketahui juga, pada masa Orde Baru pembangunan dilaksanakan secara top down, kemudian menimbulkan dampak sampingan terhadap pembangunan itu sendiri. Pembangunan yang menekankan pada pertumbuhan ekonomi yang pesat dalam persaingan pasar bebas terkendali, memberikan munculnya para pengusaha kaya raya (konglomerat) yang tidak memberikan keuntungan bagi sebagian besar masyarakat lapisan bawah. Pembangunan dilaksanakan dengan konsep pertumbuhan ekonomi telah melahirkan kemiskinan dan lemahnya kualitas SDM. Dengan kata lain, terjadinya ketimpangan pada bidang ekonomi dan pendidikan. Selain itu, ketimpangan antara pemerintah pusat dan daerah, antara Jawa dan luar Jawa, serta antara kota dengan desa (Thamrin, 1995: 119). Sejalan dengan itu, perubahan dalam berbagai bidang kehidupan telah membawa implikasi terhadap perubahan sistem kenegaraan ke arah desentralisasi ditandai dengan lahirnya Undang-Undang (UU) No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 2000, namun otonomi daerah baru terlaksana pada awal tahun 2001, kemudian UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 2000 dijadikan sebagai landasan yuridis bagi penyelenggaraan otonomi daerah, tetapi dalam perkembangannya UU No. 20 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 2000 direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 34 tahun 2004, maka sejak itu pula titik berat otonomi berada pada tingkat daerah Kabupaten/Kota. Dengan itu pula, menunjukkan pada banyaknya tanggung jawab yang diemban oleh daerah, seperti pendidikan hingga pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, antara lain pemeliharaan fakir miskin dan anak-anak terlantar. Tidak menutup kemungkinan akibat yang ditimbulkan yakni saat pemerintah daerah ‘tidak peduli’ dengan pendidikan, ini menandakan Indonesia semakin terpuruk dalam soal human resources. Beratnya beban yang dihadapi oleh daerah menunjukkan pada kondisi riil masyarakat, khususnya masyarakat Desa Jerowaru Kecamatan Jerowaru Kabupaten Lombok Timur Propinsi Nusa Tenggara Barat, berupa tingginya angka kemiskinan atau rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat (59%), diiringi dengan rendahnya mutu SDM dengan tingkat pendidikan menunjukkan pada tingginya angka buta huruf dan tamat sekolah dasar (57%), yaitu kira-kira setengah lebih dari jumlah penduduk desa yang ada (BPS Kab. Lombok Timur, 2002). Mencermati kondisi masyarakat desa pada era otonomi daerah dan globalisasi sudah menjadi tanggung jawab semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat sendiri. Keterlibatan masyarakat, secara khusus tidak dapat lepas dari peran tokoh-tokoh yang berpengaruh di dalamnya. Bagi masyarakat Desa Jerowaru tokoh agama (Islam) sangat berpengaruh dan memiliki peran sentral dalam mengembangkan aktifitas masyarakat, hal ini dimungkinkan karena sebagian besar masyarakatnya beragama Islam dan secara umum masyarakat Lombok, sehingga tak salah memperoleh sebutan “Pulau Seribu Masjid”. Tuan guru demikian sebutan untuk tokoh agama pada masyarakat Lombok dalam kehidupan sehari-hari dikenal memiliki gaya hidup (life style) sederhana, tidak menonjolkan diri pada urusan-urusan keduniawian, dan tidak terbawa oleh gemerlapnya mode-mode sesaat. Dengan begitu masyarakat merasa kagum, patuh, dan memposisikannya “serba lebih” dan “serba bisa” dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain yang ada pada masyarakat desa. Adapun tuan guru yang cukup terkenal pada masyarakat Lombok, antara lain, seperti TGH. Muh. Zainuddin Abdul Majid (almarhum) di Pancor Lombok Timur, TGH. Umar (almarhum), seorang imam besar di Mekkah dari Kelayu Lombok Timur, TGH. Nadjamuddin (almarhum) dari Praya Lombok Tengah, TGH. Ibrahim (almarhum) dari Kediri Lombok Barat. Tuan guru atau kyai (Jawa) bukan hanya sebagai tokoh agama, melainkan juga sebagai pendiri, pimpinan, pengasuh dan pemilik pondok pesantren, yang kemudian oleh Wahid (1984: 10) disebut subkultur yang menjadi pusat gerakan kultural dan moral, sehingga pondok pesantren tidak dapat dilepaskan dari posisi tuan guru, karena tuan guru merupakan salah satu elemen dasar yang penting, bahkan terpenting dari pondok pesantren (Ali, 1987: 23, Dhofier, 1990: 44). Hal ini juga terbukti dengan perkembangan pondok pesantren yang begitu cepat di Lombok, sampai dengan tahun 2004 berjumlah 198, dengan rincian di Kota Mataram terdapat 16 pondok pesantren, Lombok Barat terdapat 60 pondok pesantren, Lombok Tengah terdapat 51 pondok pesantren, dan Lombok Timur terdapat 71 pondok pesantren (Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi NTB, 2004). Sumber : Tesis Habibuddin, M.Pd (Ketua Lembaga Pengabdian Masyarakat/LPM) IAIH Pancor.


Artikel Terkait:

1 comments:

wah tampilan baru ni blognya...makinkeren aj...tp buku tamunya kmana ni ???

Post a Comment